Rabu, 30 Maret 2016

CHEONGGYECHEON

Cheonggyecheon (Hangul: 청계천) adalah panjang yang modern ruang 10,9 km (7,0 mil), rekreasi publik di pusat kota Seoul, Korea Selatan. Proyek pembaharuan perkotaan besar adalah di situs sungai yang mengalir sebelum pembangunan ekonomi yang pesat pasca perang menyebabkan ia menjadi tertutup oleh infrastruktur transportasi. Proyek $ 900.000.000 awalnya menarik banyak kritik publik, tapi setelah pembukaan pada tahun 2005, telah menjadi populer di kalangan penduduk dan wisatawan.

Cheonggyecheon adalah 8,4 km sungai yang mengalir dari barat ke timur melalui pusat kota Seoul, dan kemudian bertemu Jungnangcheon, yang menghubungkan ke Sungai Han dan bermuara di Laut Kuning. Selama presiden Park Chung-hee, Cheonggyecheon ditutupi dengan beton untuk jalan. Pada tahun 1968, jalan layang dibangun di atasnya.

Aliran itu bernama Gaecheon ( “aliran terbuka”) setelah proyek renovasi pertama untuk membangun sistem drainase selama Dinasti Joseon. Pekerjaan, termasuk pengerukan dan memperkuat tepi sungai dan membangun jembatan, dilakukan setiap 2 ~ 3 tahun selama periode ini dari pemerintahan Taejong, raja ketiga dari Dinasti Joseon. Raja Yeonjo terutama melakukan pekerjaan perbaikan sebagai proyek nasional. [2]

Gacheon diubah namanya menjadi Cheonggyecheon, nama saat ini, selama masa penjajahan Jepang. Selama ini, kesulitan keuangan mencegah penjajah dari menutupi sungai meskipun beberapa upaya untuk melakukannya. [3]

Setelah Perang Korea (1950-1953), lebih banyak orang bermigrasi ke Seoul untuk membuat hidup mereka dan menetap di sepanjang sungai di rumah-rumah darurat lusuh. Yang menyertai sampah, pasir, dan limbah, dan kondisi memburuk mengakibatkan merusak pemandangan untuk kota. sungai ditutupi dengan beton lebih dari 20-tahun yang dimulai pada tahun 1958, dan 5,6 km panjang, 16 jalan raya m-lebar meningkat selesai pada tahun 1976. Daerah ini menjadi contoh industrialisasi sukses dan modernisasi Korea Selatan.

In July 2003, then-Seoul mayor, Lee Myung-bak initiated a project to remove the elevated highway and restore the stream. It was a major undertaking since the highway had to be removed and years of neglect and development had left the stream nearly dry. 120,000 tons of water were to be pumped in daily from the Han River, its tributaries, and groundwater from subway stations.[4] There were safety problems due to the deteriorated concrete. Still, restoration of Cheonggyecheon was deemed important as it fit in with the movement to re-introduce nature to the city and to promote a more eco-friendly urban design. Other goals of the project were to restore the history and culture of the region, which had been lost for 30 years, and to revitalize Seoul’s economy.

The Seoul Metropolitan Government established several organizations to oversee the successful restoration of Cheonggyecheon: the Cheonggyecheon Restoration Project Headquarters for the control of the whole project; the Citizen’s Committee for Cheonggyecheon Restoration Project for the management of conflict between the Seoul Metropolitan Government and the union of merchants; and the Cheonggyecheon Restoration Research Corps for the establishment and review of the restoration plan.

To address the consequent traffic problem, the Cheonggyecheon Restoration Project Headquarters established traffic flow measures in the downtown section affected by the restoration work and coordinated changes in the downtown traffic system based on the research of the Cheonggyecheon Restoration Research Corps.[3]

The restoration of two historic bridges, Gwangtonggyo and Supyogyo, was also a contentious issue, as several interest groups voiced opinions on how to restore historical and cultural sites and remains and whether to replace the bridges or not.[3]

The Cheonggyecheon restoration project had the purpose of preserving the unique identity of the natural environment and the historic resources in the CBD of Seoul, and to reinforce the surrounding business area with information technology, international affairs and digital industries.[3] The plan encouraged the return of the pedestrian-friendly road network connecting the stream with traditional resources: Bukchon, Daehangno, Jungdong, Namchon, and Donhwamungil. This network system, named the CCB (Cheonggyecheon Culture Belt), tried to build the cultural and environmental basis of the city.

The stream was opened to the public in September 2005 and was lauded as a major success in urban renewal and beautification. However, there was considerable opposition from the previous mayoral administration of Goh Kun, which feared gentrification of the adjacent areas that housed many shops and small businesses in the machine trades.

Creating an environment with clean water and natural habitats was the most significant achievement of the project. Species of fish, birds, and insects have increased significantly as a result of the stream excavation.[5] The stream helps to cool down the temperature on the nearby areas by 3.6 °C on average versus other parts of Seoul.[6] The number of vehicles entering downtown Seoul has decreased by 2.3%, with an increasing number of users of buses (by 1.4%) and subways (by 4.3%: a daily average of 430,000 people) as a result of the demolition of the two heavily used roads.[7] This has a positive influence by improving the atmospheric environment in the region.

The project attempted to promote the urban economy through amplifying urban infrastructure for a competitive city in the business and industrial area centered on the stream. The urban renewal project was the catalyst of revitalization in downtown Seoul. Cheonggyecheon became a centre for cultural and economic activities.

Cheonggyecheon restoration work brought balance to the areas south and north of the stream. During the modernization era, downtown Seoul was divided into two parts, north-south, based on their features and function. The restoration helped to join these parts to create a new urban structure connecting the cultural and environmental resources in northern and southern areas of the stream (Hwang n.d.), resulting in a balanced and sustainable development of northern and southern areas of the Han River.

The project sped up traffic around the city when the motorway was removed. It has been cited as a real-life example of Braess’ paradox.

sumber :

https://en.wikipedia.org/wiki/Cheonggyecheon

Kota Seoul Korea Selatan


SEOUL

Seoul adalah ibu kota Korea Selatan yang berusia lebih dari 600 tahun dan hingga 1945, ibu kota dari seluruh Korea. Kota ini merupakan Kota Khusus Korea. Sejak berdirinya Republik Korea—lebih dikenal dengan nama Korea Selatan—pada tahun 1948, dia menjadi ibu kota negara, kecuali beberapa waktu pada masa Perang Korea.

Seoul terletak di barat laut negara, di bagian selatan DMZ Korea, di Sungai Han. Kota ini adalah pusat politik, budaya, sosial dan ekonomi di Korea Selatan dan Asia Timur. Dia juga pusat bisnis, keuangan, perusahaan multinasional, dan organisasi global. Sampai sekarang, dia dianggap sebagai sinar dari ekonomi Asia Timur, simbol dari keajaiban ekonomi Korea.

Dengan 10 juta penduduk terdaftar yang hidup dalam area sebesar 605.21 km², Seoul merupakan salah satu kota terpadat di dunia. Kepadatannya telah membuatnya menjadi salah satu kota digital-kabel di dunia. Kota ini juga memiliki kendaraan terdaftar lebih dari 1 juta kendaraan yang menyebabkan kemacetan sampai lewat tengah malam. Bagian Seoul besar dan daerah komuter, termasuk dermaga kota Incheon dan daerah tempat tinggal Seongnam, adalah slah satu daerah terpadat di dunia.

 SEJARAH KOTA SEOUL

Pada era Baekje, Seoul dikenal dengan nama Wirye-seong (위례성; 慰禮城), Hanju (한주; 漢州) pada era Silla, Namgyeong (남경; 南京) pada era Goryeo, Hanseong (한성; 漢城) pada era Baekje dan Joseon, Hanyang (한양; 漢陽) pada era Dinasti Joseon dan Gyeongseong (경성; 京城) pada masa kolonial. Pembentukan kota dimulai pada era Baekje, Wirye-seong, pada 17 SM. Lokasi awal pembentukan kota diperkirakan berada disekitar daerah perbatasan Seoul yang sekarang. 



sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Seoul

Jumat, 29 Januari 2016

MALPRAKTEK KONSTRUKSI “ROBOHNYA BANGUNAN TAMBAHAN DI PUSAT GROSIR METRO TANAH ABANG”



Robohnya bangunan tambahan pada Metro Tanah Abang dalam masa pelaksanaan yang menyebabkan tidak berfungsinya bangunan tersebut dapat dinyatakan sebagai kegagalan bangunan. Menurut Bab I Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999 yang dimaksud dengan kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa. Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK) menegaskan bahwa tanggungjawab pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan konstruksi bukan hanya dalam rentang waktu pelaksanaan, tetapi berlaku juga setelah serah terima akhir pekerjaan. Pada Pasal 25 ayat 2 UUJK menyatakan bahwa kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Penyedia jasa menurut Pasal 16 ayat 1 terdiri dari perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi.

Undang-Undang RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pada bab X tentang Sanksi, bunyi pasal 41, 42, dan 43, adalah;  Pasal 41, Peyelengara pekerjaan konstruksi dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini.
Pada Pasal 42, ayat 1, Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa; peringatan tertulis, penghentian sementara pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi, pembekuan izin usaha dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Ayat 2, Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa; peringatan tertulis, penghentian sementara pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi, larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi, pembekuan izin usaha dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Ayat 3, Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pada Pasal 43, ayat 1, Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
Pada Ayat 2, Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak memenuhi ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.

Pada Ayat 3, Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksankan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.


KEGAGALAN KONSTRUKSI “RUNTUHNYA JEMBATAN PENGHUBUNG GEDUNG PERPUSTAKAN DAERAH DKI (NOVEMBER 2014)”



Bangunan jembatan ini menghubungkan gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta. Keruntuhan jembatan terjadi pada tanggal 3 November 2014.
Keruntuhan terjadi dikarenakan sistem perancah yang mengalami kegagalan. Scafolding yang digunakan merupakan scafolding besi dengan kondisi yang sudah tidak layak pakai:

Kondisi scafolding banyak yang sudah keropos dan ada beberapa yang berlubang.
Pemasangan scafolding tidak dilengkapi dengan bracing, sehingga scaffolding menjadi tidak stabil.
Adanya perlemahan scafolding yang tidak dihitung seperti adanya jalan akses untuk kendaraan dibawah struktur yang sedang dibangun.

Untuk masalah diatas sangat berhubungan dengan apa yang ada pada UU RI No. 29  tahun 2000, mengenai kegagalan konstruksi. Berikut adalah penjabarannya:

Peraturan Pemerintah RI No.29 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pada bagian kelima memuat tentang Kegagalan Pekerjaan konstruksi, bunyi pasal 31, 32, 33, dan 34, adalah;

Pada Pasal 31, Kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa.

Pada Pasal 32, ayat.1, Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi. Ayat.2 Pelaksana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi dan pengawas konstruksi. Ayat 3, Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi dan pelaksana konstruksi. Ayat 4, Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa atas biaya sendiri.

Pada  Pasal 33, Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila pekerjaan konstruksi mengakibatkan kerugian dan atau gangguan terhadap keselamatan umum.

Pada Pasal 34, Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan, atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan  atau Pengguna Jasa  setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi



Senin, 09 November 2015

Pemkot Jelaskan RTRW Kota Bogor

Pihak Pemerintah Kota Bogor sengaja diundang oleh MCB dalam Lokakarya yang membahas tentang sosial Kemasyarakatan dengan Topik masih seputar g Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor.
Lokakarya yang digelar, Selasa (7/2/2012) dimulai pukul 11.00 hingga pukul 15.00 wib menarik perhatian sejumlah tokoh Bogor. “ Kita berharap dengan Lokakarya yang mengambil topik RTRW, rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor akan tersosialisasi lagi kepada masyarakat,” kata Ketua MCB Bagus Karyanegara di Sekretariat MCB.
Kepala Bidang Fisik dan Prasarana pada BAPPEDA Kota Bogor Lorina, menagatakan, bahwa RTRW Kota Bogor merupakan salah satu yang terbaik di Jawa Barat, “ Selain RTRW Kota Bogor juga Kota Bandung termasuk RTRW yang telah mendapatkan persetujuan dari Gubernur, “ kata Lorina.
Namun diakuinya, bahwa dalam pelaksanaannya masih menghadapi tantangan yakni belum konsisten sepenuhnya dilaksanakan. “ Kami dari Pemerintah Kota Bogor akan terus berupaya mewujudkan tata Kota sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011 – 2031, “ ungkapnya. Lebih lanjut Lorina memaparkan, bahwa lahirnya RTRW melalui proses yang cukup panjang. Dimulai dengan penyusunan naskah akademis pada tahun 2008 dan hingga akhirnya terbit PERDA pada tanggal 28 Juni 2011.
“Proses penyiapan RTRW tidak mudah karena begitu banyak tahapan dan mekanisme yang harus dilalui, diantaranya rekomendasi Gubernur dan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum. Salah satu proses yang terpenting yang telah dilalui adalah tahapan konsultasi publik pada bulan Maret 2011 lalu, “ ungkapnya.
Dijelaskan, bahwa rencana struktur ruang Kota Bogor direncanakan menjadi 5 wilayah pelayanan yang meliputi, pelayanan A dengan lokasi pusat Kebun Raya dan sekitarnya, pelayanan B dengan pusat di Wilayah Kawasan Bubulak, pelayanan C dengan pusat di Kawasan Yasmin dan Pasar TU Kemang, pelayanan D dengan pusat di Kawasan BORR kedung Halang, Sentul dan Warung Jambu dan pengembangan ruang wilayah pelayanan E dengan pusat di Kawasan Tajur-R3-inner ring road.
Sedangkan sarana utilitas yang direncanakan untuk dikembangkan di Kota Bogor adalah air bersih, air limbah dan persampahan. Khusus untuk persampahan, dilakukan dengan cara, Optimalisasi TPA Galuga, pembangunan tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah (TPPAS) dan stasiun peralihan antara (SPA) Operasionalisasi TPA terpadu Nambo.

Sementara untuk sektor pariwisata, jenis kegiatan pariwisata yang diunggulkan untuk dikembangkan adalah wisata IPTEK, heritage, wisata kuliner, belanja dan rekreasi ruang terbuka.
Khusus wisata kuliner dan belanja pengembangan akan dipusatkan di kawasan Bogor lama dan Tajur . Lebih jauh Bogor akan mengembangkan pariwisata MICE dan ecowisata di wilayah Bubulak dan Tajur.
Mengenai rencana pengembangan angkutan umum diarahkan untuk meningkatkan manajemen dan konsep ramah lingkungan. Sedangkan rencana penataan dan pengembangan sarana transportasi dilakukan dengan menata stasiun Kota Bogor dan Kawasan Sekitarnya, pembangunan stoplet dan terminal terpadu di Sukaresmi, Optimalisasi terminal Baranangsiang sebelum terminal baru dibangun, pembangunan terminal Tipe A di Tanah Baru dan pemanfaatan terminal penumpang di wilayah perbatasan bekerjasama dengan Kabupaten.
Lorina juga menjelaskan, bahwa ruang terbuka hijau di Kota Bogor diharapkan mencapai angka 30% dari luas keseluruhan. Hal tersebut sejalan dengan peraturan dalam UU No. 26 Tahun 2001 tentang Tata Ruang yang mengharuskan ruang terbuka hijau mencapai 30%.
Menanggapi penjelaskan dari BAPPEDA tentang Ruang Terbuka Hijau, Ketua MCB Bagus Karyanegara berharap rencana penataan ruang terbuka segera dituntaskan, karena hal tersebut merupakan amanat Undang-undang dan akan menambah keindahan kota Bogor untuk keperluan pariwisata disamping sebagai paru-paru kota. “ MCB siap mendukung setiap Kebijakan Pemkot Bogor, “ imbuhnya. (yan)

Kota dan Kabupaten Bogor Lanjutkan Penataan Terminal

Kemacetan di Kota Bogor (sumber: Antara/Jafkhairi)
Bogor – Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kota Bogor berupaya mempercepat kerjasama pembangunan dan penataan terminal dan layanan angkutan umum.
Pembangunan dan penataan terminal dan angkutan umum merupakan satu di antara 28 kesepakatan kerja sama dua daerah yang ditandatangani pada 2010. Kabupaten Bogor membangun dua terminal batas yakni satu di wilayah barat di Dramaga dan satu di wilayah timur di Ciawi. Kota Bogor membangun tiga terminal batas yakni di Ciluar (Bogor Utara), Sukaresmi (Tanah Sareal), dan Salabenda (Tanah Sareal).
Lima terminal perlu dibangun dengan tujuan angkutan umum (angkot) dari Kabupaten Bogor tidak perlu beroperasi sampai jantung Kota Bogor sehingga memenuhi jalanan dan bersaing dengan angkot kota. Misalnya mikrolet 08 Citeureup-Pasar Anyar cukup dioperasikan sampai Ciluar sedangkan dari Ciluar ke Pasar Anyar dapat diangkut menggunakan angkot di Kota Bogor.
Masalahnya, dari lima terminal yang disepakati itu, belum satu pun yang dibangun. Memang ada dua terminal di wilayah barat yakni Terminal Bubulak milik Pemkot Bogor dan Terminal Laladon di Dramaga milik Pemkab Bogor yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer, hal itu berakibat layanan angkutan umum yang tidak efektif dan efisien.
Namun, pada akhirnya disepakati bahwa Terminal Bubulak akan ditutup sedangkan Terminal Laladon ditingkatkan menjadi terminal batas yang bisa dimasuki moda transportasi dari Kota Bogor.
Wakil Wali Kota Usmar Hariman mengatakan, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor, kawasan Terminal Bubulak tidak diproyeksikan untuk layanan transportasi melainkan untuk jasa dan perdagangan.
“Memang akan ditutup tetapi setelah Terminal Laladon ditingkatkan layanannya,” katanya, ditemui di Balai Kota, Rabu (22/10).
Sementara, Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Soebiantoro menjelaskan, Terminal Laladon akan diperluas dan ditingkatkan. Namun, proyek ini baru akan bisa berjalan pada anggaran 2015. Sepanjang pembangunan Terminal Laladon masih dalam pengerjaan, maka Terminal Bubulak tetap beroperasi seperti biasa.
Di Kabupaten Bogor, menurut Soebiantoro, peningkatan layanan terminal juga diupayakan di Cileungsi, Cibinong, dan Leuwiliang. Dari Cileungsi dan Cibinong sudah dioperasikan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) menuju Jakarta. Dari Cibinong juga dioperasikan bus tujuan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dari Leuwiliang sudah dioperasikan bus antarkota antarprovinsi ke Bandung.
Suara Pembaruan
Penulis: VEN/JAS